Senja Bunga Kamboja

apakah musim dingin masih saja
membuatmu ragu?
ataukah musim semi berbunga sakura
yang kau tunggu?

aku di sini
sabar menanti
dengan doa-doa
kusebut nama

kalaupun pernah ada masa lalu
aku ingin kau tahu
jika dua insan menyatu
yang ada hanya masa depan menunggu

Coretan itu aku buat hanya untuk mengungkapkan bahasa hatiku yang tidak bisa menahan gejolak rindu yang kian menderu-deras. Kepada seorang perempuan yang pandangannya benar-benar menyejukkan hatiku. Setiap senyumnya adalah seteguk nafas bagiku. Entahlah, dia hadir begitu saja dalam hidupku. Proses perkenalan pun tidak aku ingat. Aku merasa telah mengenalnya ribuan tahun lamanya. Hingga aku tidak perlu berpikir jika seandainya ia menjadi seorang khadijah. Ah, mungkin aku terlalu banyak berhayal. Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis secantik dia akan mendaftar kepadaku yang seorang gembel. Banyak formulir yang berterbangan untuk memacarinya. Namun dia tidak pernah menerima formulir-formulir dari setiap lelaki yang mendaftar padanya. Sepertinya dia enggan untuk sekedar menikmati hidup berpasangan terlalu dini. Walau hanya sebatas saling berkenal mesra.

Aku tidak ambil pusing. Walaupun seandainya aku harus jujur, disetiap waktuku selalu ada bayangnya. Dalam lamunanku selalu tergambar senyumnya yang ranum. Aku tidak tahu, kenapa aku tidak pernah bisa membayangkan tubuhnya. Teman-teman sering mengatakan bahwa tubuhnya seksi, bahenol dan sangat menggoda. Aku tidak ingin berpikir macam-macam. Karena dengan membayangkan tubuhnya, semakin membuatku tidak bisa menahan gejolak rinduku yang semakin menggelora. Cukup aku membayangkan wajahnya saja, hatiku terasa begitu sejuk. Entahlah, ketika aku bisa membayangkan wajahnya yang lembut, senyumnya yang ranum, aku bisa merasakan sesuatu yang benar-benar sejuk. Sampai-sampai pernah suatu waktu dengan tidak sadar tanganku terbakar oleh api rokokku ketika aku larut dalam bayangan wajahnya.

satu

rinduku menderu-deras mengejar bayangmu
pada selaut-laut kenang membanjir mengombak
mengejar-ngejar jejak kakiku kakimu
tertinggal pejam pada pasir pantai
menggunung memutih diterbang-terbang angin
menghilang melayang melelap melenyap

tak lelah berlari kukejar
kucari sederet bunga terjatuh pasrah lunglai merapuh
dari ikat rambutmu memajang suka cita
memadu mengendap diriku dirimu bersatu
menyatu dan sepakat aku kamu
menjadi kita saja kita berdua
lalu apa lagi pembeda
karena dua jiwa melangit membumi
melaut titik satu tak pisah
tak musuh layak timur barat
tak jauh bak utara selatan

tabur mawar merah merekah senyummu ranum
membasah melafal berbaris-baris doa
bergumam-gumam puja-puji bagi kita
selayak pantai tak sepi-sepi
angin bermain meniup-niup

diriku dirimu diri kita
mengusir lagu ragu dari bisik setan
dengan kata cintaku cintamu cinta kita
disulam dijahit diikat
biar tak sebebas-bebas melepas menebas gegas pedas rampas

tidak aku
tidak kamu
tapi kita;
satu saja

Aku seperti seorang pujangga baru. Bayangnya telah menyulapku menjadi seorang pujangga baru di masa ini. bahkan bayangnya telah menyulapku menjadi seorang seniman jalanan, seniman masjid, seniman listrik dan lain-lain. Karena ketika membayangkan wajahnya tanpa sadar aku menuliskan huruf-huruf kerinduan di tiang-tiang listrik, di trotoar jalan, di tembok-tembok masjid, bahkan aku pernah menuliskan huruf-huruf rindu itu pada sebuah langit yang biru merekah. Aku menuliskan dengan tinta awan yang keperakan. Hingga semua orang terperangah dan bersorak-sorai mengagumi kelebihanku ini.

suatu waktu aku bertemu dengannya berhadap-hadapan. Seakan jantungku berhenti berdetak. Nafasku tersengal-sengal. Tidak teratur. Aku merasa tidak sanggup untuk sekedar menatap matanya yang tajam. Tapi aku suka sekali menatap wajahnya. “Kok ngelihatnya kaya gitu?” bahasanya yang lugu sambil tersipu. Aku hanya tersenyum-senyum sambil terus melihat ekspresinya yang tersipu. “Suka aja ngelihat kamu tersenyum” jawaban yang mungkin tidak pernah ia bayangkan. Datar, tapi penuh makna. Aku memang senang sekali menatap wajahnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta padanya. Selalu saja aku larut dalam lamunan-lamunan panjang. yang selalu melahirkan kerinduan yang begitu mendalam.

Ah aku tidak ingin begini terus-menerus. Aku ingin ia menjadi telaga hatiku. Aku ingin selalu menatapnya. Aku tidak lagi ingin hanya sebatas menatap wajahnya. Tapi aku ingin semuanya. Karena aku ingin mengungkapkan kerinduan ini. aku sudah tidak tahan. Bahkan teman-teman sering membangunkanku tengah malam. Kata mereka aku telah menyebut-nyebut namanya. Sebagai ganti dzikir tengah malamku. Oh, rindu ini semakin menyiksa saja. Aku tidak akan pernah mendapatkan kepastian jika hanya larut dalam lamunan saja. Aku tidak mau menunggu yang tidak pasti. Aku harus berani mengungkapkannya. Dan aku juga harus berani menerima, apapun jawaban yang ia berikan.

“Wahai penyejuk hatiku. Ternyata rindu itu semakin nyata. Aku tidak bisa melupakan wajahmu. Bahkan senyummu telah benar-benar menjadikan aku seperti kumbang yang buta. Tapi aku bisa merasakan aromamu. Baru aku sadari, bahwa aku telah jatuh hati padamu. Wahai penebar aroma kesejukan. Maukah kau menjadi telaga hatiku? selamanya?” seperti mengalir. Tanpa harus mengeja tiap huruf. Kalimat itu spontan terucap disuatu sore yang cerah. Dalam sebuah perjalanan menuju rumahnya. Entahlah, kenapa aku bisa bertindak ceroboh seperti itu. Keberanian itu dari mana, aku tidak mengetahuinya. Seperti ada kekuatan yang memaksa bibir ini berucap. Aku tidak bisa membayangkan raut wajahnya ketika mendengar ucapanku itu. wajahnya memerah. Merah sekali.

“Sorry ya, aku ga bisa jawab sekarang. Tolong beri aku waktu untuk berfikir!” Kalimat itu seperti membuat aku kecewa. Aku tahu, dia tidak mungkin mengecewakan aku untuk berkata tidak. Dengan ucapan itu, aku sudah tahu jawabannya. Dia tidak ada rasa untukku. Jika memang ada, ia tidak akan berfikir lama untuk menjawabnya. Ah, menyesal aku. Kenapa terlalu cepat aku mengutarakannya. Tapi tidak apa. Mungkin waktu yang akan menjawabnya. Mungkin saja terkaanku salah. Walaupun tidak mustahil itu bisa benar. Ah, kenapa aku sepicik ini. menduga-duga sesuatu yang belum pasti. Aku hanya bisa berharap bahwa dugaanku salah.

Senja Bunga Kamboja

seperti kematian yang selalu saja datang bergegas
kau pulangkan aku pada satu sunyi merajam napas

Tuhan, kalaupun aku boleh berdoa
sebelum lekas fajar ini berlalu
aku hanya minta satu:
semoga penantianku tak serupa senja bunga kamboja

Kairo, 25 januari 2006

***

Sore yang cerah. Kunikmati indahnya sungai Nil bersamanya. Sengaja aku sewa satu perahu untuk kami berdua. Kulihat wajahnya begitu cerah. Secerah sore ini. Aku ingin mendengarkan langsung jawaban yang selama ini menggantung hatiku. Dia melihatku sambil tersenyum dan meminta aku mengulurkan tangan. Kuberikan saja tanganku. Aku tidak memperhatikan tangannya yang memegang tanganku. Kulitnya yang putih halus menyentuh kulit tanganku. Aku seperti terkena tegangan tinggi. Jantungku berdegup kencang; Hatiku bergemuruh; pikiranku melayang. Sungguh, aku tidak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Sebuah rasa yang benar-benar dahsyat. Aku hanya terpaku pada wajahnya yang tidak henti-hentinya mengulas senyum. “Matanya jangan dibuka dulu, yah! nanti kalau aku suruh buka baru boleh dibuka” pintanya dengan logat bahasa daerahnya yang khas. Aku hanya menurut saja. Tanpa kata.

“Nah, sekarang baru boleh dibuka.” Kubuka mataku. Tapi aku tidak melihat sedikitpun perubahan. Hingga aku menemukan sesuatu yang janggal di lehernya. Ya, kalung yang melingkar itu tidak biasanya. sepertinya dia memang sengaja ingin memperlihatkannya kepadaku. Aku seperti mengenal kalung itu. Ya, aku mengenali kalung itu. “Kalung itu, sepertinya aku mengenalnya,” celetukku, memancingnya untuk mengangkat suara. “ Ya, kau sudah mengenalnya sejak kecil. Ini adalah kalung ibumu.” Ucapnya , mantap. Aku terperanjat kaget. “Benarkah itu?” tanyaku tidak percaya. “Sebulan yang lalu aku menelpon ke rumahmu, dan ibumu yang menerimanya. Aku ceritakan semuanya. Aku juga menceritakan bahwa keluargaku setuju-setuju saja. Lalu ibumu menyuruhku untuk menunggu dua minggu. Beliau meminta alamat lengkapku. Dan kemarin, aku mendapatkannya dengan secarik surat. Dengan memakai ini, anakku akan tahu bahwa kau siap menjadi menantuku.” Benar-benar di luar dugaan. Sampai-sampai aku tidak percaya kalau kejadian ini benar-benar nyata. Aku benar-benar tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagianya hatiku. Ternyata penantianku tak serupa senja bunga kamboja.


Afie MN
pada sebuah proses yang tak pernah berakhir

*Semua sajak/puisi karya Leo kelana.

0 Komentar: