Poto kurang kerjaan

Hawa sejuk menerpa wajahku. Berjalan menyusuri lorong yang tepat berada di samping kantor polisi perepatan rab'ah. Suara trompet dan klakson mobil, motor dan gendang bersahutan.

Ah, ini bukan malam tahun baru. Malam tahun baru telah lewat sebulan kemarin. Tapi perayaan apakah gerangan? Apakah mesir telah memenangkan sebuah peperangan? Hah, mana ada peperangan jaman sekarang? Kalaupun ada itu bukan peperangan, tapi penindasan.

Yah, aku baru sadar ternyata malam ini adalah malam final pertandaingan piala afrika 2008 antara Mesir melawan Camerom di sudan. Pantas saja kalo warga Mesir begitu senang, mereka bergerombol bak tawon yang meraung memenuhi setiap jalan-jalan di Kairo. Atau seperti gerombolan pasukan yang baru saja pulang dari medan perang dan berhasil memenangkan peperangan.

Dari dulu memang si"kulit bundar" itu selalu membuat orang seperti kesetanan; berteriak kegirangan.

Malam ini adalah malam panjang, malam pesta bagi rakyat Mesir yang patut dibanggakan. Muda mudi turun ke jalan bersorak gembira, bernyanyi dan bergoyang menari. Inilah nasionalisme. Bukan perang saja yang patut disorak gembirakan karena kemenangan, tapi kemengan di lapangan hijau pun "wajib" didendangkan.

Mesir berhasil mengalahkan Cameron yang merupakan langganan piala dunia. Apakah itu bukan suatu kebanggan? Setidaknya menjadi tanda bahwa Mesir bisa melangkah ke piala dunia. Bersaing dengan pemain sekaliber Gerrard atau Ronaldinho? dan ketika nanti dipertandingan piala dunia menang, apakah bukan suatu keistimewaan menyayikan lagu kebangsaan di hadapan dunia kemudian hati kecil berkata "ana masri wa abuya masri" aku anak mesir dan ayahku pun orang mesir.

Aku masih berjalan di atas trotoar tepat berada di seberang mesjid yang memancarkan warna hijau.

Sebuah sedan putih yang sedikit reok berjalan pelan dan terseok seok. Kemacetan di jalan membuat mobil itu kelihatan "sengsara". Tapi ternyata "kesengasraan" itu tidak saya temukan di wajah sopir dan penumpang mobil malang tersebut. Seorang pemuda yang kutaksir umurnya berkisar 25 tahun mengemudikan mobil tersebut, di sampingnya duduk seorang gadis yang tak jauh beda dengan umur pemuda tadi. Sedang di jok belakang seorang wanita yang kutaksir berumur 50an dan seorang bapak yang tak jauh beda dengan ibu tadi duduk dan tangannya memegang sebuah bendera. Yah, bendera mesir.

Sepertinya mereka adalah satu keluarga yang sengaja keluar rumah untuk menonton pertandingan sepak bola negerinya yang dicintainya. Benar benar gila pikirku.

Aku tiba-tiba teringat negeriku yang jauh. Negeri yang penuh rusuh. Negeri yang kata oransg masyarakatnya ramah tapi ternyata dibalik "jubah" keramahannya tersembunyi taring kekerasan, cakar tajam yang mampu merobek persatuan. Ah, negeriku yang malang.

Bagaimana dengan dunia persepakbolaan negeri "kaya" itu? Apakah masih diliputi pertikaian seperti dulu? Pendukung tiap klub saling gontok-gontokan. Ah, keluhku dalam hati.

Aku tentu ingin negeri tempatku lahir bisa seperti Mesir, negeri penuh debu ini. Menang dalam setiap pertandingan kemudian masyarakat muda dan tua berpesta, berbaur. Tak ada kata perbedaan suku untuk teriakan kemenangan. Yang harus ada adalah senyum kemenangan.

Aku kanget dan lamunanku hilang. Seorang laki laki keluar dari dalah satu mobil dan melepaskan tembakan ke atas sebanyak tiga kali. Suaranya memekakkan telinga kemudian laki laki tersebut tersenyum.

Ah, suara itu. Di negeriku tembakan seperti itu hanya akan terdengar ketika para polisi menghalau para mahasiswa yang berdemo, tapi disini? Malah dipakai sebagai tanda kegembiraan. Sungguh negeri yang sangat berbeda. Aku pun tersenyum.

*tulisan 2 bulan kemarin, baru dapet dari kolong ranjang.

0 Komentar: