Politik is Politik


Rata Penuh"Politik is politik". Itulah salah satu perkataan yang sempat saya tangkap, pada acara ramah tamah dengan salah seorang kandidat doktor bidang politik dari salah satu universitas di Canada, yang kebetulan pada waktu itu lagi liburan ke Kairo.

Politik adalah "dunia lain", dunia yang tak sama seperti yang kita tinggali sekarang ini. Dunia politik adalah dunia yang tak mempunyai batasan, ruang dan tidak mengenal suku, ras dan agama. Sedangkan di dunia nyata, kita mempunyai batasan dan ruang, suku, ras dan agama serta norma-norma yang harus kita taati dan jalankan.

Dunia politik itu seperti kain hitam di gelapnya malam. Tak ada yang bisa kita liat dengan jelas dan nyata, semua seperti ilusi. Sedangkan bayangan putih dan terang yang menurut kita adalah cahaya, sejujurnya hanya permainan dan imajinasi dari pikiran kita sendiri.

Anda ingin melihat dunia politik secara live? Lihatlah apa yang dikatakan Andi Alfian Mallarangeng sewaktu sedang orasi politik pada kampanye pilpres di Makassar tadi. "Orang sulawesi selatan belum saatnya menjadi pemimpin".
Inilah hal yang nyata dari dunia politik, membunuh saudara, suku serta "mengencingi" tanah kelahiran sendiri adalah hal yang lumrah (setidaknya hanya buat Mallarangeng bersaudara). Tujuannya cuma satu, agar orang yang mereka dukung, dipilih dan dicontreng oleh masyarakat SUL-SEL pada tanggal 8 juli nanti.

Agak lucu sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh Andi Mallarangeng ini. Dia adalah tim kampanye dari salah satu pasangan capres. Dia berkampanye "dirumah" orang tapi kok malah ngatain pemilik rumah itu sendiri. Yah, sopan sedikitlah gitu boss, jangan bawa-bawa suku, ras dan budaya. Kita inikan negara berdasarkan pancasila, kemajemukan dan pluralitas masyarkat Indonesia yang ber-asas Bhineka tunggal ika.

Mungkin ada baiknya jika Andi mallarangeng itu mencontoh kehidapan saya dan teman-teman mantan serumah saya dulu. Setahun kemarin, sebelum saya pindah kerumah yang sekarang, saya tinggal dengan 11 orang teman dalam satu rumah. Rumah itu terdiri dari 3 kamar, 1 dapur dan satu kamar mandi yang dipetakin jadi 2.

Dalam kehidupan kami sehari-hari, kami hidup layaknya saudara se-suku, yaitu suku Indonesia. Padahal daerah asal dan suku kami justru berbeda-beda. Ada orang Bugis, jawa, Riau. Tapi kami damai-damai aja, tak ada cek-cok, yang ada hanya masalah terlambat melaksanakan piket masak. He he he....

Layaknya orang yang berbeda suku, barang tentu bahasa kami juga berbeda, dan tak ada satupun yang mengerti bahasa daerah dari semua teman tadi. Untungnya kita punya bahasa Indonesia. Hanya ini yang membuat kami serasa menjadi seperti saudara.

Nah seandainya dunia politik seperti dunia dan kehidupan saya beserta teman-teman dulu, maka saya yakin tidak akan ada lagi sukuisme, rasisme dan "me-me" lain-nya dalam dunia politik Indonesia, sejatinya dunia politik akan menjadi dunia penuh pengertian, tolerasi dan persaudaraan.

*NB: tulisan setengah sadar, siap bobo....
kalo tidak ngerti isi tulisanku, harap makluk, dah ngantuk banget nih...

0 Komentar: